Jumat, 13 September 2013

Cara Mengganti Nada Dering di Windows Phone 8



Cara Mengganti Nada Dering di Windows Phone 8 - Kurang lebih tiga bulan ini saya beralih dari Android ke Windows Phone 8 yaitu dengan gadget Nokia Lumia 520. Semuanya baik-baik saja hingga suatu ketika saya mulai bosan dengan nada dering yang itu-itu saja. Kemudian setelah saya otak-atik celakanya saya tidak bisa menemukan fitur untuk mengganti nada dering lewat ponsel dengan mudah. Penasaran dengan itu, akhirnya saya buka situs nokia.com dan windowsphone.com disana saya menemukan jawaban atas segala rasa gundah gulana saya selama ini.
Tetapi jawaban itu belum membuat saya sukses mengganti nada dering di ponsel saya. Akhirnya saya browsing dan ikut forum sambil terus otak-atik sendiri hingga saya menemukan jawaban sendiri. Nah bagaimana sih cara menambahkan nada dering ke ponsel Windows Phone 8? Mudah kok caranya :
  1. Persiapkan nada dering yang akan anda tambahkan (format .MP3)
  2. Tancapkan ponsel anda ke komputer menggunakan kabel USB
  3. Setelah proses selesai, copy file yang akan anda pindah
  4. Lalu paste-kan kedalam folder ringtone/nada dering yang ada pada disc Phone (lihat gambar)
NB :
  • Lagu yang akan anda gunakan sebagai nada dering bukan lagu yang dilindungi dengan manajemen hak digital (DRM), dan harus lebih kecil dari 30 MB.
  • Sistem Operasi PC yang Anda gunakan untuk proses penambahan lagu harus Windows Vista, Windows 7 atau Windows 8.
 

Proses selesai, silahkan menuju Settings > ringtones+sounds > ringtone . Maka di kolom custom akan ada nada dering yang ada tambahkan.


Demikian, semoga bermanfaat. :D

 

Jumat, 23 Agustus 2013

Kisah Penyelam Mutiara






“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seprti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemuadian hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al Hadid : 20)

Ayat diatas merupakan Maklumat dari Allah kepada manusia agar tidak terlena dan terbuai dengan kenikmatan dunia yang hanya sementara.

Memang, pada hakikatnya manusia menginginkan kehidupan yang serba tercukupi, punya rumah mewah, mobil mewah, harta berlimpah dan anak yang elok rupanya. Namun, kadangkala untuk mencapai tujuan sesaat itu mereka menggunakan segala cara, tidak peduli halal atau haramkah, tidak kenal mana kawan atau lawan bahkan menghabiskan sisa umur yang sejatinya semakin berkurang hanya untuk memenuhi keinginan yang sesaat.

Perjalanan hidup manusia tak ubahnya bagaikan kisah penyelam mutiara, yang dalam setiap tugasnya selalu dibekali dengan tabung oksigen yang terpasang dipunggungnya. Pada saat terjun menyelam, niatnya bulat ingin mencari tiram mutiara sebanyak-banyaknya, akan tetapi begitu ia berada di bawah permukaan laut, ia mulai lupa pada tujuan yang harus dicarinya. Kenapa?

Ternyata pemandangan di dalam laut sangat mempesona, bunga karang yang melambai-lambai seolah-olah memanggilnya, ikan-ikan hias berwarna-warni yang saling berkejaran dengan riangnya seolah mengajaknya bermain, hingga membuatnya terpana dan akhirnya membuat terlena ikut bercanda ria, melupakan tugasnya semula untuk mencari tiram mutiara yang berada jauh di dasar laut sana.

Hingga pada suatu saat, ia terkejut manakala disadarinya persediaan oksigennya tinggal sedikit. Timbullah rasa panik dan ketakutan yang begitu dahsyat, tak terbayangkan olehnya bagaimana kemarahan majikannya kelak bila ia muncul ke permukaan tanpa membawa tiram mutiara sebanyak yang diharapkan. Maka dengan tergopoh-gopoh ia pun berusaha untuk mencari tiram yang ada di sekitarnya. Namun sayang, kekuatan fisiknya sudah melemah, energinya sudah habis terkuras untuk bermain dan bercanda ria dengan keindahan alam bawah laut.

Akhirnya isi tabung oksigennya benar-benar kosong, sehingga walaupun tiram mutiara yang diperolehnya sangat sedikit, ia mau tidak mau harus muncul ke permukaan. Malangnya lagi karena tergesa-gesa ia tidak sempat mengikat kantongnya dengan baik sehingga ketika kantongnya tersenggol ikan yang berseliweran di sampingnya, tiram mutiara yang sudah didapatnya dengan susah payah itu sebagian tumpah keluar.

Di permukaan, majikannya telah menunggu, bagaimana jadinya nanti begitu dilihatnya isi kantong si penyelam tidak berisi tiram mutiara sebagaimana yang ia harapkan??

Dengan penuh rasa penyesalan, si penyelam berusaha meminta kesempatan ulang untuk menyelam kembali,
“Tuan.. ijinkanlah aku untuk kembali menyelam, pasti aku akn mencari tiram mutiara sebanyak-banyaknya.”
Namun, majikannya dengan tegas menolaknya.

Kisah ini menggambarkan tentang perjalanan hidup manusia. Tabung oksigen adalah perlambangan jatah umur manusia, tiram mutiara mengibaratkan amal ibadah yang harus kita kumpulkan sedang keindahan di dalam lautan melambangkan godaan –godaan kenikmatan dunia dengan harta, tahta dan wanita.

Sesuai dengan ayat dalam Al Quranul Karim, surah Ali Imran ayat ke 14 yang berbunyi,
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulh kesenangan hidup di dunia , dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik(surga).”

Belajar dari kisah di atas mudah-mudahan kita dapat mengambil hikmah bahwa di dunia ini bukanlah tujuan atau kehidupan yang sebenarnya tapi dunia ini adalah awal dari khidupan yang sebenarnya. Oleh karena itu manfaatnlahpotensi yang ada pada diri untuk beribadah kepada Allah Subhana wa Ta’ala agar kelak kita bisa merasakan kenikmatan yang abadidari hasil jerih payah yang kita lakukan di dunia.

Rasulullah Salallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
“Pergunakanlah lima macam waktu, sebelum datang yang lima macam lagi. Pergunakanlah hidupmu sebelum datang matimu, sehatmu sebelum datang sakitmu, waktu senggangmu sebelum datang kesibukanmu, masa mudamu sebelum datang masa tuamu dan kayamu sebelum datang miskinmu.” (HR. Baihaqi dari Ibnu Abbas)

Marilah kita pergunakan lima perkara tersebut selagi Allah masi mempercayakan nya kepada kita agar tidak ada penyesalan dikemudian hari dan janganlah kita seperti orang-orang munafik ketika datang kematian kepada salah seorang diantara mereka , lalu ia berkata :
Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan kematianku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?”

Oleh karena itu marilah kita introspeksi diri, sudah ukupkah tiram mutiara (pahala.red) yang kita peroleh selama ini sehingga bila suatu saat kita harus muncul ke permukaan menemui Rabb kita Allah Subhanahu wa Ta’ala, Ia telah ridha kepada kita sehingga tidak ada lagi penyesalan di dalamnya.

Mudah-mudahan kita menjadi hamba-hamba Allah yang senantiasa pandai menggunakan segala anugerahNya dengan selalu peduli dan ingin berbagi sesamanya.

Wallahua’alam Bishawab..

Minggu, 24 Maret 2013

Menjaga, Menata, lalu Bercahaya

Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan  menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.

Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’.

”Subhanallaah.. wal hamdulillaah..”, girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.

”Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.

”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.

”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”

Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.

”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”

♥♥♥

Tak mudah menjadi lelaki sejantan Salman. Tak mudah menjadi sahabat setulus Abud Darda’. Dan tak mudah menjadi wanita sejujur shahabiyah yang kelak kita kenal sebagai Ummud Darda’. Belajar menjadi mereka adalah proses belajar untuk menjadi orang yang benar dalam menata dan mengelola hati. Lalu merekapun bercahaya dalam pentas sejarah. Bagaimanakah kiranya?

Ijinkan saya mengenang seorang ulama yang berhasil mengintisarikan Ihya’ ‘Ulumiddin karya Imam Al Ghazali. Ustadz Sa’id Hawa namanya. Dalam buku Tazkiyatun Nafs, beliau menggambarkan pada kita proses untuk menjadi  orang yang shadiq, orang yang benar. Prosesnya ada empat, ialah sebagai berikut,

1. Shidqun Niyah

Artinya benar dalam niat. Benar dalam semburat pertama hasrat hati. Benar dalam mengikhlaskan diri. Benar dalam menepis syak dan riya’. Benar dalam menghapus sum’ah dan ‘ujub. Benar dalam menatap lurus ke depan tanpa mempedulikan pujian kanan dan celaan kiri. Benar dalam kejujuran pada Allah. Benar dalam persangkaan pada Allah. Benar dalam meneguhkan hati.

2. Shidqul ‘Azm

Artinya benar dalam tekad. Benar dalam keberanian-keberanian. Benar dalam janji-janji pada Allah dan dirinya. Benar dalam memancang target-target diri. Benar dalam pekik semangat. Benar dalam menemukan motivasi setiap kali. Benar dalam mengaktivasi potensi diri. Benar dalam memikirkan langkah-langkah pasti. Benar dalam memantapkan jiwa.

3. Shidqul Iltizam

Artinya benar dalam komitmen. Benar dalam menetapi rencana-rencana. Benar dalam melanggengkan semangat dan tekad. Benar dalam memegang teguh nilai-nilai. Benar dalam memaksa diri. Benar dalam bersabar atas ujian dan gangguan. Benar dalam menghadapi tantangan dan ancaman. Benar dalam mengistiqamahkan dzikir, fikir, dan ikhtiyar.

4. Shidqul ‘Amaal

Artinya benar dalam proses kerja. Benar dalam melakukan segalanya tanpa menabrak pagar-pagar Ilahi. Benar dalam cara. Benar dalam metode. Benar dalam langkah-langkah yang ditempuh. Benar dalam profesionalisme dan ihsannya amal. Benar dalam tiap gerak anggota badan.

Nah, mari coba kita refleksikan proses menjadi orang benar ini dalam proses menuju pernikahan. Seperti Salman. Ia kuat memelihara aturan-aturan syar’i. Dan mengharukan caranya mengelola hasrat hati. Insyaallah dengan demikian keberkahan itu semakin mendekat. Jikalau Ash Shidq berarti kebenaran dan bermakna kejujuran, maka yang pertama akan tampak sebagai gejala keberkahan adalah di saat kita jujur dan benar dalam bersikap pada Allah dan manusia.

♥♥♥

Apa kiat sederhana untuk menjaga hati menyambut sang kawan sejati? Dari pengalaman, ini jawabnya: memfokuskan diri pada persiapan. Mereka yang berbakat gagal dalam pernikahan biasanya adalah mereka yang berfokus pada “Who”. Dengan siapa. Mereka yang insyaallah bisa melalui kehidupan pernikahan yang penuh tantangan adalah mereka yang berfokus pada “Why” dan “How”. Mengapa dia menikah, dan bagaimana dia meraihnya dalam kerangka ridha Allah.

Maka jika kau ingin tahu, inilah persiapan-persiapan itu:

1. Persiapan Ruhiyah (Spiritual)

Ini meliputi kesiapan kita untuk mengubah sikap mental menjadi lebih bertanggung jawab, sedia berbagi, meluntur ego, dan berlapang dada. Ada penekanan juga untuk siap menggunakan dua hal dalam hidup yang nyata, yakni sabar dan syukur. Ada kesiapan untuk tunduk dan menerima segala ketentuan Allah yang mengatur hidup kita seutuhnya, lebih-lebih dalam rumahtangga.

2. Persiapan ‘Ilmiyah-Fikriyah (Ilmu-Intelektual)

Bersiaplah menata rumahtangga dengan pengetahuan, ilmu, dan pemahaman. Ada ilmu tentang Ad Diin. Ada ilmu tentang berkomunikasi yang ma’ruf kepada pasangan. Ada ilmu untuk menjadi orangtua yang baik (parenting). Ada ilmu tentang penataan ekonomi. Dan banyak ilmu yang lain.

3. Persiapan Jasadiyah (Fisik)

Jika memiliki penyakit-penyakit, apalagi berkait dengan kesehatan reproduksi, harus segera diikhtiyarkan penyembuhannya. Keputihan pada akhwat misalnya. Atau gondongan (parotitis) bagi ikhwan. Karena virus yang menyerang kelenjar parotid ini, jika tak segera diblok, bisa menyerang testis. Panu juga harus disembuhkan, he he. Perhatikan kebersihan. Yang lain, perhatikan makanan. Pokoknya harus halal, thayyib, dan teratur. Hapus kebiasaan jajan sembarangan. Tentang pakaian juga, apalagi pada bagian yang paling pribadi. Kebiasaan memakai dalaman yang terlalu ketat misalnya, berefek sangat buruk bagi kualitas sperma. Nah.

4. Persiapan Maaliyah (Material)

Konsep awal; tugas suami adalah menafkahi, BUKAN mencari nafkah. Nah, bekerja itu keutamaan & penegasan kepemimpinan suami. Persiapan finansial #Nikah sama sekali TIDAK bicara tentang berapa banyak uang, rumah, & kendaraan yang harus kita punya. Persiapan finansial bicara tentang kapabilitas menghasilkan nafkah, wujudnya upaya untuk itu, & kemampuan mengelola sejumlah apapun ia.

Maka memulai per nikahan, BUKAN soal apa kita sudah punya tabungan, rumah, & kendaraan. Ia soal kompetensi & kehendak baik menafkahi. Adalah ‘Ali ibn Abi Thalib memulai pernikahannya bukan dari nol, melainkan minus: rumah, perabot, dan lain-lain dari sumbangan kawan dihitung hutang oleh Nabi. Tetapi ‘Ali menunjukkan diri sebagai calon suami kompeten; dia mandiri, siap bekerja jadi kuli air dengan upah segenggam kurma.

Maka sesudah kompetensi & kehendak menafkahi yang wujud dalam aksi bekerja -apapun ia-, iman menuntun: pernikahan itu jalan Allah membuka kekayaan (QS 24: 32). Buatlah proyeksi nafkah rumahtangga secara ilmiah & executable. JANGAN masukkan pertolongan Allah dalam hitungan, tapi siaplah dengan kejutanNya.

Kemapanan itu tidak abadi. Saat belum mapan masing-masing pasangan bisa belajar untuk menghadapi lapang maupun sempitnya kehidupan. Bahkan ketidakmapanan yang disikapi positif menurut penelitian Linda J. Waite, signifikan memperkuat ikatan cinta. Ketidakmapanan yang dinamis menurut penelitian Karolinska Institute Swedia, menguatkan jantung dan meningkatkan angka harapan hidup.

5. Persiapan Ijtima’iyyah (Sosial)

Artinya, siap untuk bermasyarakat, faham bagaimana bertetangga, mengerti bagaimana bersosialisasi dan mengambil peran di tengah masyarakat. Juga tak kalah penting, memiliki visi dan misi da’wah di lingkungannya.

Nah, ini semua adalah persiapan. Artinya sesuatu yang kita kerjakan dalam proses yang tak berhenti. Seberapa banyak dari persiapan di atas yang harus dicapai sebelum menikah? Ukurannya menjadi sangat relatif. Karena, bahkan proses persiapan hakikatnya adalah juga proses perbaikan diri yang kita lakukan sepanjang waktu. Setelah menikah pun, kita tetap harus terus mengasah apa-apa yang kita sebut sebagai persiapan menikah itu. Lalu, kapan kita menikah?

Ya. Memang harus ada parameter yang jelas. Apa? Rasulullah ternyata hanya menyebut satu parameter di dalam hadits berikut ini. Satu saja. Coba perhatikan.

“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian telah bermampu BA’AH, maka hendaklah ia menikah, karena pernikahan lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan farj. Dan barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa, sungguh puasa itu benteng baginya.” (HR Al Bukhari dan Muslim)

Hanya ada satu parameter saja. Apa itu? Ya, ba’ah. Apa itu ba’ah? Sebagian ‘ulama berbeda pendapat tetapi menyepakati satu hal. Makna ba’ah yang utama adalah kemampuan biologis, kemampuan berjima’. Adapun makna tambahannya, menurut Imam Asy Syaukani adalah al mahru wan nafaqah, mahar dan nafkah. Sedang menurut ‘ulama lain adalh penyediaan tempat tinggal. Tetapi, makna utamalah yang ditekankan yakni kemampuan jima’.

Maka, kita dapati generasi awal ummat ini menikahkan putra-putri mereka di usia muda. Bahkan sejak mengalami ihtilam (mimpi basah) pertama kali. Sehingga, kata Ustadz Darlis Fajar, di masa Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, tidak ada kenakalan remaja. Lihatlah sekarang, kata beliau, ulama-ulama besar dan tokoh-tokoh menyejarah menikah di usia belasan. Yusuf Al Qaradlawi menikah di usia belasan, ‘Ali Ath Thanthawi juga begitu. Beliau lalu mengutip hasil sebuah riset baru di Timur Tengah, bahwa penyebab banyaknya kerusakan moral di tengah masyarakat adalah banyaknya bujangan dan lajang di tengah masyarakat itu.

Nah. Selesai sudah. Seberapa pun persiapan, sesedikit apapun bekal, anda sudah dituntut menikah kalau sudah ba’ah. Maka persiapan utama adalah komitmen. Komitmen untuk menjadikan pernikahan sebagai perbaikan diri terus menerus. Saya ingin menegaskan, sesudah kebenaran dan kejujuran, gejala awal dari barakah adalah mempermudah proses dan tidak mempersulit diri, apalagi mempersulit orang lain. Sudah berani melangkah sekarang? Apakah anda masih perlu sebuah jaminan lagi? Baik, Allah akan memberikannya, Allah akan menggaransinya:

“Ada tiga golongan yang wajib bagi Allah menolong mereka. Pertama, budak mukatab yang ingin melunasi dirinya agar bisa merdeka. Dua, orang yang menikah demi menjaga kesucian dirinya dari maksiat. Dan ketiga, para mujahid di jalan Allah.” (HR At Tirmidzi, An Nasa’i, dan Ibnu Majah)

Pernah di sebuah milis, saya juga menyentil sebuah logika kecil yang pernah disampaikan seorang kawan lalu saya modifikasi sedikit. Apa itu? Tentang bahwa menikah itu membuka pintu rizqi. Jadi logikanya begini. Jatah rizqi kita itu sudah ada, sudah pasti sekian-sekian. Kita diberi pilihan-pilihan oleh Allah untuk mengambilnya dari jalan manapun. Tetapi, ia bisa terhalang oleh beberapa hal semisal malas, gengsi, dan maksiat.

Kata ‘Umar ibn Al Khaththab, pemuda yang tidak berkeinginan segera menikah itu kemungkinannya dua. Kalau tidak banyak maksiatnya, pasti diragukan kejantanannya. Nah, kebanyakan insyaallah jantan. Cuma ada maksiat. Ini saja sudah menghalangi rizqi. Belum lagi gengsi dan pilih-pilih pekerjaan yang kita alami sebelum menikah. Malu, gengsi, pilih-pilih.

Tapi begitu menikah, anda mendapat tuntutan tanggungjawab untuk menafkahi. Bagi yang berakal sehat, tanggungjawab ini akan menghapus gengsi dan pilih-pilih itu. Ada kenekatan yang bertanggungjwab ditambah berkurangnya maksiat karena di sisi sudah ada isteri yang Allah halalkan. Apalagi, kalau memperbanyak istighfar. Rizqi akan datang bertubi-tubi. Seperti kata Nabi Nuh ini,

“Maka aku katakan kepada mereka: “Beristighfarlah kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh 10-12)

Pernah membayangkan punya perkebunan yang dialiri sungai-sungai pribadi? Banyaklah beristighfar, dan segeralah menikah, insyaallah barakah. Nah, saya sudah menyampaikan. Sekali lagi, gejala awal dari barakahnya sebuah pernikahan adalah kejujuran ruh, terjaganya proses dalam bingkai syaria’t, dan memudahkan diri. Ingat kata kuncinya; jujur, syar’i, mudah. Saya sudah menyampaikan, Allaahummasyhad! Ya Allah saksikanlah! Jika masih ada ragu menyisa, pertanyaan Nabi Nuh di ayat selanjutnya amat relevan ditelunjukkan ke arah wajah kita.

“Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?” (Nuh 13)

Begitulah. Selamat menyambut kawan sejati, sepenuh cinta.


Di nukil dari web Ustad Salim A Fillah, semoga Allah merihoinya, dengan perubahan seperlunya.