Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.
Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’.
”Subhanallaah.. wal hamdulillaah..”, girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.
”Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.
”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.
”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”
Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.
”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
♥♥♥
Tak mudah menjadi lelaki sejantan Salman. Tak mudah menjadi sahabat setulus Abud Darda’. Dan tak mudah menjadi wanita sejujur shahabiyah yang kelak kita kenal sebagai Ummud Darda’. Belajar menjadi mereka adalah proses belajar untuk menjadi orang yang benar dalam menata dan mengelola hati. Lalu merekapun bercahaya dalam pentas sejarah. Bagaimanakah kiranya?
Ijinkan saya mengenang seorang ulama yang berhasil mengintisarikan Ihya’ ‘Ulumiddin karya Imam Al Ghazali. Ustadz Sa’id Hawa namanya. Dalam buku Tazkiyatun Nafs, beliau menggambarkan pada kita proses untuk menjadi orang yang shadiq, orang yang benar. Prosesnya ada empat, ialah sebagai berikut,
1. Shidqun Niyah
Artinya benar dalam niat. Benar dalam semburat pertama hasrat hati. Benar dalam mengikhlaskan diri. Benar dalam menepis syak dan riya’. Benar dalam menghapus sum’ah dan ‘ujub. Benar dalam menatap lurus ke depan tanpa mempedulikan pujian kanan dan celaan kiri. Benar dalam kejujuran pada Allah. Benar dalam persangkaan pada Allah. Benar dalam meneguhkan hati.
2. Shidqul ‘Azm
Artinya benar dalam tekad. Benar dalam keberanian-keberanian. Benar dalam janji-janji pada Allah dan dirinya. Benar dalam memancang target-target diri. Benar dalam pekik semangat. Benar dalam menemukan motivasi setiap kali. Benar dalam mengaktivasi potensi diri. Benar dalam memikirkan langkah-langkah pasti. Benar dalam memantapkan jiwa.
3. Shidqul Iltizam
Artinya benar dalam komitmen. Benar dalam menetapi rencana-rencana. Benar dalam melanggengkan semangat dan tekad. Benar dalam memegang teguh nilai-nilai. Benar dalam memaksa diri. Benar dalam bersabar atas ujian dan gangguan. Benar dalam menghadapi tantangan dan ancaman. Benar dalam mengistiqamahkan dzikir, fikir, dan ikhtiyar.
4. Shidqul ‘Amaal
Artinya benar dalam proses kerja. Benar dalam melakukan segalanya tanpa menabrak pagar-pagar Ilahi. Benar dalam cara. Benar dalam metode. Benar dalam langkah-langkah yang ditempuh. Benar dalam profesionalisme dan ihsannya amal. Benar dalam tiap gerak anggota badan.
Nah, mari coba kita refleksikan proses menjadi orang benar ini dalam proses menuju pernikahan. Seperti Salman. Ia kuat memelihara aturan-aturan syar’i. Dan mengharukan caranya mengelola hasrat hati. Insyaallah dengan demikian keberkahan itu semakin mendekat. Jikalau Ash Shidq berarti kebenaran dan bermakna kejujuran, maka yang pertama akan tampak sebagai gejala keberkahan adalah di saat kita jujur dan benar dalam bersikap pada Allah dan manusia.
♥♥♥
Apa kiat sederhana untuk menjaga hati menyambut sang kawan sejati? Dari pengalaman, ini jawabnya: memfokuskan diri pada persiapan. Mereka yang berbakat gagal dalam pernikahan biasanya adalah mereka yang berfokus pada “Who”. Dengan siapa. Mereka yang insyaallah bisa melalui kehidupan pernikahan yang penuh tantangan adalah mereka yang berfokus pada “Why” dan “How”. Mengapa dia menikah, dan bagaimana dia meraihnya dalam kerangka ridha Allah.
Maka jika kau ingin tahu, inilah persiapan-persiapan itu:
1. Persiapan Ruhiyah (Spiritual)
Ini meliputi kesiapan kita untuk mengubah sikap mental menjadi lebih bertanggung jawab, sedia berbagi, meluntur ego, dan berlapang dada. Ada penekanan juga untuk siap menggunakan dua hal dalam hidup yang nyata, yakni sabar dan syukur. Ada kesiapan untuk tunduk dan menerima segala ketentuan Allah yang mengatur hidup kita seutuhnya, lebih-lebih dalam rumahtangga.
2. Persiapan ‘Ilmiyah-Fikriyah (Ilmu-Intelektual)
Bersiaplah menata rumahtangga dengan pengetahuan, ilmu, dan pemahaman. Ada ilmu tentang Ad Diin. Ada ilmu tentang berkomunikasi yang ma’ruf kepada pasangan. Ada ilmu untuk menjadi orangtua yang baik (parenting). Ada ilmu tentang penataan ekonomi. Dan banyak ilmu yang lain.
3. Persiapan Jasadiyah (Fisik)
Jika memiliki penyakit-penyakit, apalagi berkait dengan kesehatan reproduksi, harus segera diikhtiyarkan penyembuhannya. Keputihan pada akhwat misalnya. Atau gondongan (parotitis) bagi ikhwan. Karena virus yang menyerang kelenjar parotid ini, jika tak segera diblok, bisa menyerang testis. Panu juga harus disembuhkan, he he. Perhatikan kebersihan. Yang lain, perhatikan makanan. Pokoknya harus halal, thayyib, dan teratur. Hapus kebiasaan jajan sembarangan. Tentang pakaian juga, apalagi pada bagian yang paling pribadi. Kebiasaan memakai dalaman yang terlalu ketat misalnya, berefek sangat buruk bagi kualitas sperma. Nah.
4. Persiapan Maaliyah (Material)
Konsep awal; tugas suami adalah menafkahi, BUKAN mencari nafkah. Nah, bekerja itu keutamaan & penegasan kepemimpinan suami. Persiapan finansial #Nikah sama sekali TIDAK bicara tentang berapa banyak uang, rumah, & kendaraan yang harus kita punya. Persiapan finansial bicara tentang kapabilitas menghasilkan nafkah, wujudnya upaya untuk itu, & kemampuan mengelola sejumlah apapun ia.
Maka memulai per nikahan, BUKAN soal apa kita sudah punya tabungan, rumah, & kendaraan. Ia soal kompetensi & kehendak baik menafkahi. Adalah ‘Ali ibn Abi Thalib memulai pernikahannya bukan dari nol, melainkan minus: rumah, perabot, dan lain-lain dari sumbangan kawan dihitung hutang oleh Nabi. Tetapi ‘Ali menunjukkan diri sebagai calon suami kompeten; dia mandiri, siap bekerja jadi kuli air dengan upah segenggam kurma.
Maka sesudah kompetensi & kehendak menafkahi yang wujud dalam aksi bekerja -apapun ia-, iman menuntun: pernikahan itu jalan Allah membuka kekayaan (QS 24: 32). Buatlah proyeksi nafkah rumahtangga secara ilmiah & executable. JANGAN masukkan pertolongan Allah dalam hitungan, tapi siaplah dengan kejutanNya.
Kemapanan itu tidak abadi. Saat belum mapan masing-masing pasangan bisa belajar untuk menghadapi lapang maupun sempitnya kehidupan. Bahkan ketidakmapanan yang disikapi positif menurut penelitian Linda J. Waite, signifikan memperkuat ikatan cinta. Ketidakmapanan yang dinamis menurut penelitian Karolinska Institute Swedia, menguatkan jantung dan meningkatkan angka harapan hidup.
5. Persiapan Ijtima’iyyah (Sosial)
Artinya, siap untuk bermasyarakat, faham bagaimana bertetangga, mengerti bagaimana bersosialisasi dan mengambil peran di tengah masyarakat. Juga tak kalah penting, memiliki visi dan misi da’wah di lingkungannya.
Nah, ini semua adalah persiapan. Artinya sesuatu yang kita kerjakan dalam proses yang tak berhenti. Seberapa banyak dari persiapan di atas yang harus dicapai sebelum menikah? Ukurannya menjadi sangat relatif. Karena, bahkan proses persiapan hakikatnya adalah juga proses perbaikan diri yang kita lakukan sepanjang waktu. Setelah menikah pun, kita tetap harus terus mengasah apa-apa yang kita sebut sebagai persiapan menikah itu. Lalu, kapan kita menikah?
Ya. Memang harus ada parameter yang jelas. Apa? Rasulullah ternyata hanya menyebut satu parameter di dalam hadits berikut ini. Satu saja. Coba perhatikan.
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian telah bermampu BA’AH, maka hendaklah ia menikah, karena pernikahan lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan farj. Dan barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa, sungguh puasa itu benteng baginya.” (HR Al Bukhari dan Muslim)
Hanya ada satu parameter saja. Apa itu? Ya, ba’ah. Apa itu ba’ah? Sebagian ‘ulama berbeda pendapat tetapi menyepakati satu hal. Makna ba’ah yang utama adalah kemampuan biologis, kemampuan berjima’. Adapun makna tambahannya, menurut Imam Asy Syaukani adalah al mahru wan nafaqah, mahar dan nafkah. Sedang menurut ‘ulama lain adalh penyediaan tempat tinggal. Tetapi, makna utamalah yang ditekankan yakni kemampuan jima’.
Maka, kita dapati generasi awal ummat ini menikahkan putra-putri mereka di usia muda. Bahkan sejak mengalami ihtilam (mimpi basah) pertama kali. Sehingga, kata Ustadz Darlis Fajar, di masa Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, tidak ada kenakalan remaja. Lihatlah sekarang, kata beliau, ulama-ulama besar dan tokoh-tokoh menyejarah menikah di usia belasan. Yusuf Al Qaradlawi menikah di usia belasan, ‘Ali Ath Thanthawi juga begitu. Beliau lalu mengutip hasil sebuah riset baru di Timur Tengah, bahwa penyebab banyaknya kerusakan moral di tengah masyarakat adalah banyaknya bujangan dan lajang di tengah masyarakat itu.
Nah. Selesai sudah. Seberapa pun persiapan, sesedikit apapun bekal, anda sudah dituntut menikah kalau sudah ba’ah. Maka persiapan utama adalah komitmen. Komitmen untuk menjadikan pernikahan sebagai perbaikan diri terus menerus. Saya ingin menegaskan, sesudah kebenaran dan kejujuran, gejala awal dari barakah adalah mempermudah proses dan tidak mempersulit diri, apalagi mempersulit orang lain. Sudah berani melangkah sekarang? Apakah anda masih perlu sebuah jaminan lagi? Baik, Allah akan memberikannya, Allah akan menggaransinya:
“Ada tiga golongan yang wajib bagi Allah menolong mereka. Pertama, budak mukatab yang ingin melunasi dirinya agar bisa merdeka. Dua, orang yang menikah demi menjaga kesucian dirinya dari maksiat. Dan ketiga, para mujahid di jalan Allah.” (HR At Tirmidzi, An Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Pernah di sebuah milis, saya juga menyentil sebuah logika kecil yang pernah disampaikan seorang kawan lalu saya modifikasi sedikit. Apa itu? Tentang bahwa menikah itu membuka pintu rizqi. Jadi logikanya begini. Jatah rizqi kita itu sudah ada, sudah pasti sekian-sekian. Kita diberi pilihan-pilihan oleh Allah untuk mengambilnya dari jalan manapun. Tetapi, ia bisa terhalang oleh beberapa hal semisal malas, gengsi, dan maksiat.
Kata ‘Umar ibn Al Khaththab, pemuda yang tidak berkeinginan segera menikah itu kemungkinannya dua. Kalau tidak banyak maksiatnya, pasti diragukan kejantanannya. Nah, kebanyakan insyaallah jantan. Cuma ada maksiat. Ini saja sudah menghalangi rizqi. Belum lagi gengsi dan pilih-pilih pekerjaan yang kita alami sebelum menikah. Malu, gengsi, pilih-pilih.
Tapi begitu menikah, anda mendapat tuntutan tanggungjawab untuk menafkahi. Bagi yang berakal sehat, tanggungjawab ini akan menghapus gengsi dan pilih-pilih itu. Ada kenekatan yang bertanggungjwab ditambah berkurangnya maksiat karena di sisi sudah ada isteri yang Allah halalkan. Apalagi, kalau memperbanyak istighfar. Rizqi akan datang bertubi-tubi. Seperti kata Nabi Nuh ini,
“Maka aku katakan kepada mereka: “Beristighfarlah kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh 10-12)
Pernah membayangkan punya perkebunan yang dialiri sungai-sungai pribadi? Banyaklah beristighfar, dan segeralah menikah, insyaallah barakah. Nah, saya sudah menyampaikan. Sekali lagi, gejala awal dari barakahnya sebuah pernikahan adalah kejujuran ruh, terjaganya proses dalam bingkai syaria’t, dan memudahkan diri. Ingat kata kuncinya; jujur, syar’i, mudah. Saya sudah menyampaikan, Allaahummasyhad! Ya Allah saksikanlah! Jika masih ada ragu menyisa, pertanyaan Nabi Nuh di ayat selanjutnya amat relevan ditelunjukkan ke arah wajah kita.
“Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?” (Nuh 13)
Begitulah. Selamat menyambut kawan sejati, sepenuh cinta.
Di nukil dari web Ustad Salim A Fillah, semoga Allah merihoinya, dengan perubahan seperlunya.
Minggu, 24 Maret 2013
Sabtu, 16 Maret 2013
Khitbah (Pinangan)
1.
Pengertian
Makna
khitbah atau meminang adalah meminta seorang wanita untuk dinikahi dengan cara
yang dikenal di tengah masyarakat. Tentu saja pinangan itu tidak semata-mata ditujukan
kepada si gadis tanpa sepengetahuan ayahnya yang menjadi wali.
Sebab
pada hakikatnya, ketika berniat untuk menikahi serang gadis, maka gadis itu
tergantung dari ayahnya. Ayahnya lah yang menerima pinangan itu atau tidak dan
ayahnya pula yang nantinya akan menikahkan anak gadisnya itu dengan calon suaminya.
Sedangkan
ajakan menikah yang dilakukan oleh seorang pemuda kepada seorang pemudi yang
menjadi kekasihnya tanpa sepengetahuan ayah si gadis tidaklah disebut dengan pinangan.
Sebab si gadis sangat bergantung kepada ayahnya.
Hak
untuk menikahkan anak gadis memang terdapat pada ayahnya, sehingga tidak
dibenarkan seorang gadis menerima ajakan menikah dari siapapun tanpa
sepengetahuan ayahnya.
Meminang
adalah muqaddimah dari sebuah pernikahan. Sebuah tindakan yang telah
disyariatkan Allah SWT sebelum dilakukan pengikatan akad nikah agar
masing-masing pihak bisa mengenal satu sama lain. Selain itu itu agar kehidupan
pernikahan itu dilandasi atas bashirah yang jelas. Dengan berbagai
pertimbangan, Islam menganjurkan untuk merahasiakan meminangan dan hanya boleh
dibicarakan dalam batas keluarga saja, tanpa mengibarkan bendera atau mengadakan
upacara tabuhan genderang dan lain-lain keramaian.
Rasulullah
SAW telah bersabda :
Dari
Amir bin Abdilah bin Az-Zubair dari Ayahnya RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Umumkanlah
pernikahan". (HR. Ahmad dan dishahihkan Al-Hakim)
Dari
Ummu Salamah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Kumandangkanlah pernikahan
.... dan rahasiakanlah peminangan.
Tindakan
ini tidak lain adalah demi mencegah dan memelihara kehormatan, nama baik dan
perasaan hati wanita. Khawatir peminangan yang sudah diramaikan itu tiba-tiba
batal karena satu dan lain hal. Apapun alasannya, hal seperti itu pastilah sangat
menyakitkan dan sekaligus merugikan nama baik seorang wanita. Bisa jadi orang
lain akan ragu-ragu meminangnya karena peminang yang pertama telah mengundurkan
diri, sehingga bisa menimbulkan tanda tanya di hati para calon peminang lainnya.
Apakah wanita ini memiliki cacat atau punya masalah lainnya.
Sebaliknya,
bila peminangan ini dirahasiakan atau tidak diramaikan terlebih dahulu,
kalaupun sampai terjadi pembatalan, maka cukup keluarga terdekatlah yang mengetahuinya.
Dan nama baik keluarga tidaklah menjadi taruhannya.
2.
Khitbah Yang Dibolehkan
Untuk
bisa dilakukan khitbah atau peminangan, maka paling tidak harus terpenuhi dua syarat
utama. Pertama adalah wanita itu terbebas dari segala mawani` (pencegah) dari
sebuah pernikahan, misalnya bahwa wanita itu sedang menjadi istri seseorang.
Atau wanita itu sudah dicerai atau ditinggal mati suaminya, namun masih dalam
masa `idaah. Selain itu juga wanita itu tidak boleh termasuk dalam daftar
orang-orang yang masih menjadi mahram bagi seroang laki-laki. Maka di dalam
Islam tidak dikenal ada seorang laki-laki meminang adiknya sendiri, atau ibunya
sendiri atau bibinya sendiri.
Kedua
adalah bahwa wanita itu tidak sedang dipinang oleh orang lain hingga jelas
apakah pinangan orang lain itu diterima atau ditolak. Sedangkan bila pinangan
orang lain itu belum lagi diterima atau justru sudah tidak diterima, maka
wanita itu boleh dipinang oleh orang lain.
Dalam
hal ini Allah SWT berfirman :
Dan
tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
menyembunyikan dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka,
dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara
rahasia, kecuali sekedar mengucapkan perkataan yang ma`ruf . Dan janganlah kamu
ber`azam untuk beraqad nikah, sebelum habis `iddahnya. Dan ketahuilah
bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah
kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.(QS.
Al-Baqarah : 235)
3.
Khitbah Yang Diharamkan
Seorang
muslim tidak halal mengajukan pinangannya kepada seorang perempuan yang ditalak
atau yang ditinggal mati oleh suaminya selama masih dalam iddah. Karena
perempuan yang masih dalam iddah itu dianggap masih sebagai mahram bagi suaminya
yang pertama, oleh karena itu tidak boleh dilanggar.
Akan
tetapi untuk isteri yang ditinggal mati oleh suaminya, boleh diberikan suatu
pengertian --selama dia masih dalam iddah dengan suatu sindiran, bukan dengan
terang-terangan, bahwa si laki-laki tersebut ada keinginan untuk meminangnya.
Firman
Allah:
`Tidak
berdosa atas kamu tentang apa-apa yang kamu sindirkan untuk meminang perempuan.`(QS.
Al-Baqarah: 235)
Dan
diharamkan juga seorang muslim meminang pinangan saudaranya kalau ternyata sudah
mencapai tingkat persetujuan dengan pihak yang lain. Sebab laki-laki yang
meminang pertama itu telah memperoleh suatu hak dan hak ini harus dipelihara
dan dilindungi, demi memelihara persahabatan dan pergaulan sesama manusia serta
menjauhkan seorang muslim dari sikap-sikap yang dapat merusak identitas. Sebab meminang
pinangan saudaranya itu serupa denganperampasan dan permusuhan.
Tetapi
jika laki-laki yang meminang pertama itu sudah memalingkan pandangannya kepada
si perempuan tersebut atau memberikan izin kepada laki-laki yang kedua, maka waktu
itu laki-laki kedua tersebut tidak berdosa untuk meminangnya. Karena sesuai
dengan sabda Rasulullah SAW
yang
mengatakan sebagai berikut:
`Seorang
mu`min saudara bagi mu`min yang lain. Oleh karena itu tidak halal dia membeli
pembelian kawannya dan tidak pula halal meminang pinangan kawannya.`(HR.
Muslim)
Dan
sabdanya pula:
Dari
Ibnu Umar RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Janganlah seorang laki-laki
meminang pinangan saudaranya, sehingga peminang pertama itu meninggalkan
(membatalkan) atau mengizinkannya".(HR Bukhari)
4.
Melihat Wanita Yang Akan Dikhitbah
Islam
menyunnahkan bagi laki-laki yang ingin meminang seorang wanita untuk melihat secara
tegas calon istrinya itu secara langsung. Sesuatu yang bila dilakukan bukan
dengan niat untuk menikahi merupakan hal yang terlarang sebelumya.
Hal
ini dimaksudkan agar :
1. Hati calon
suami itu yakin bahwa calon istrinya tidak mempunyai cacat yang dapat
menimbulkanrasa kecewa.
Menurut
riwayat, pernah seorang laki-laki meminang seorang wanita Anshar, maka
Rasulullah SAW bertanya,` Apakah kamu sudah melahatnya ?`. `Belum`,
jawabnya. Maka dengan tegas Rasulullah SAW berkata,`Pergilah kamu melihatnya karena
di mata orang anshar ada sesuatu`.(HR. Muslim)
2. Untuk mengukuhkan keinginan untuk melakukan peminangan dan menghilangkan
perasaan ragu yang mengusik. Dalam hal ini Rasulullah bersabda :
Dari
Mughirah bin Syu`bah bahwa dia datang kepada Rasulullah SAW dan
meberitahukannya bahwa dirinya telah meminang seorang wanita. Maka nasehat
Rasulullah SAW adalah,`Lihatlah dia, karena hal itu bisa melanggengkan
pernikahan antara kalian.(HR. An-Nasai, Tirmizi)
Dan
tentu saja seorang wanita yang akan dipinang pun punya hak yang sama untuk
melihat calon suaminya itu.
Namun
bukan berarti bila dibolehkan melihat calon pasangan adalah boleh melihat semua
tubuhnya satu per satu. Hanya wajah dan tapak tangan saja yang boleh dilihat,
sedangkan yang selain itu tidak diperkenankan.
Kepada
laki-laki diperkenankan untuk melihat wajah seorang wanita secara lebih
seksama, lebih dari melihat wajah wanita pada umumnya. Dengan harapan bisa
membangkitkan minatnya untuk menikahinya.
Namun
bila seorang wanita secara terbuka akan dilihat atau diperiksa pisiknya,
pastilah dia akan merasa malu dan tidak percaya diri. Karena itu maka teknik
yang bisa dilakukan adalah melihat tanpa sepengetahuan si wanita itu. Hal ini
juga berfungsi untuk menjaga perasaan wanita. Apalagi bahwa tahap melihat masih
belum lagi menjadi keputusan akhir sebuah ketetapan pernikahan. Sehingga
kalaulah calon suami kurang menerima kondisi pisiknya, maka wanita itu tidak merasa
telah dilepaskan. Karena itu lah dianjurkan untuk melihat wanita yang akan
dikhitbah dengan tanpa sepengetahuan wanita yang bersangkutan.
5.
Hubungan Antara Laki-laki dan Wanita yang sudah Dipinangnya
Meski
sudah dipinang dan sebentar lagi akan menjadi suami istri, namun hubungan kedua
pasangan itu tidak ada bedanya dengan orang asing / ajnabi. Sebab sama sekali
belum ada ikatan nikah, maka tidak ada satu pun kebolehan yang diberikan selain
dari boleh melihatnya saat pertama kali menentukan pilihan untuk meminang.
Namun hal itu tidak diperkenankan untuk dilakukan terus menerus atau pada setiap
kesempatan.
Semua
larangan yang berlaku pada orang asing juga berlaku pada mereka berdua. Tidak
diperkenankan berduaan (khalwat), kalaulah akan mengerjakan hal-hal yang
terkait dengan acara pernikahan maka harus ditemani dengan mahramnya.
Mereka
tidak diperkenankan jalan-jalan berdua untuk belanja keperluan pernikahan. Juga
dilarang diskusi hanya berdua untuk perencanaan ke depan. Juga tidak
diperkenankan untuk selalu berkomunkasi yang mengarah kepada bentuk-bentuk khalwat,
meski semata-mata dengan telepon, sms atau chatting di internet.
Sebab
biar bagaimana pun mereka belum lagi menjadi suami istri. Kalau semua itu akan
dirasa perlu dilakukan, keberadaan mahram sebagai orang ketiga mutlak
diwajibkan.
Demikian semoga bermanfaat.
Dengan referensi Kitab Fiqih Nikah karya Ahmad Sarwat, Lc. Semoga Allah meridhoinya.
Langganan:
Postingan (Atom)